Sejarah kelam al-mihnah
Sejarah
Mihnah dan Keteguhan Para Ulama Ahlus-Sunnah
1.
PENGERTIAN
MIHNAH
Secara bahasa Mihnah (Ù…ØÙ†Ø©) adalah jamak dari kata Mahana
(Ù…ØÙ†), Yumhinu (يمØÙ†), yang memiliki arti cobaan, Ujian atau bala[1].
Sedangkan
menurut Istilah adalah Ujian keyakinan para ahli fiqh dan ulama ahli hadits
tentang keyakinan Al-Qur’an serta sanksi hukum yang harus mereka terima
sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut[2].
Secara
Fenomenologi al-Mihnah dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam telah terjadi
sebelum masa al-Ma’mun[3].
Diantara Imam
yang terkenak Cobaan tersebut adalah Imam Ahmad bin Hambal (w. 855-), atas
keteguhannya mempertahankan pendapatnya bahwa Al-Qur’an itu bukanlah Makhluk
tetapi Al-Qur’an itu adalah Kalam Allah, Senagaimana akan kami jelaskan nanti.
Adapun peristiwa ini terjadi pada saat Pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, yaitu
pada masa pemerintahan Khallifah al-Ma’mun (170 H/ 785 M-218 H/ 833 M).
Peristiwa mihnah terjadi pada masa al-Ma’mun, al-Mu’tashim (w. 227H), al-Watsiq
(w.232H)[4].
1.1.
Timbulnya
Mihnah
Peristiwa
mihnah ini mulai terjadi ketika sekte Jahmiyah dan Mu’tazilah berhasil
menguasai kerajaan dan memegang kendali sekian banyak urusan hinngga mampu
menyetir para Khalifah sesuai dengan hawa nafsu, kesesatan, dan kekufuran
mereka. Karena sesungguhnya perndapat mereka yang mengatakan bahwa A-Qur’an itu
adalah makhluk, merupakan suatu bentuk kekufuran dan celaan terhadap Allah,
kitab-Nya, sekaligus Rasul-Nya[5].
Nah itulah
mihnah atau pun cobaan, ujian yang di terima oleh para ulama, Contohnya adalah
Imam Ahmad bin Hambal yang berpegang teguh dengan pendapatnya bahwa al-Qur’an
itu bukanlah makhluk, dan mukin timbul pertanyaan dalam diri kita apakah
al-Qur’an itu Makhluk ataukah Kalam Allah. Insyallah akan kita bahas.
1.2.
Al-Qur’an
Kalam Allah Bukan Makhluk
Syaikh
Abu Utsman Isma'il Ash-Shabuni berkata dalam kitabnya Aqidah Ahlus Sunnah:
"Ashhabul Hadits bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur'an adalah
kalamullah (ucapan Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang diturunkan, bukan makhluk.
Siapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia makhluk maka kafir menurut
pandangan mereka.
Al-Qur'an
merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan melalui Jibril kepada Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam dengan bahasa Arab untuk orang-orang yang berilmu
sebagai peringatan dan kabar gembira, sebagaimana firman Allah ta'ala:
"Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan
oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu'ara: 192-195)
Al-Qur'an disampaikan oleh Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam kepada umatnya sebagaimana yang diperintahkan
Allah:
"Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Rabbmu". (Al-Maidah:67),
dan yang disampaikan oleh beliau adalah kalamullah.
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
"Apakah kalian yang akan menghalangiku untuk
menyampaikan kalam (ucapan) Rabbku" [6]
Al-Qur'an yang dihafal dalam hati, dibaca oleh lisan,
dan ditulis dalam mushaf-mushaf, bagaimanapun caranya Al-qur'an dibaca oleh
qari', dilafadzkan oleh seseorang, dihafal oleh hafidz, atau dibaca dimanapun
ia dibaca, atau ditulis dalam mushaf-mushaf dan papan catatan anak-anak dan
yang lainnya adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang beranggapan bahwa ia
makhluk, maka telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung.
Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah
berkata: "Al-Qur'an adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang mengatakan
Al-Qur'an adalah makhluk, maka dia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung,
tidak diterima persaksiannya, tidak dijenguk jika sakit, tidak dishalati jika
mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia diminta taubat,
kalau tidak mau maka dipenggal lehernya.
Abu Ishaq bin Ibrahim pernah ditanya tentang
lafadz Al-Qur'an, maka Beliau berkata: "Tidak pantas untuk diperdebatkan.
'Al-Qur'an kalamullah-bukan makhluk ".
Imam Ahmad bin Hambal berkata: "Orang yang
menganggap makhluk lafadz Al-Qur'an adalah Jahmiyah, Allah berfirman:
"maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
kalamullah' (At-Taubah:6).
Dari mana ia mendengar?
Abdullah bin Al-Mubarak berkata: "Siapa yang
mengkufuri satu huruf Al-Qur'an saja, maka ia kafir (ingkar) dengan Al-Qur'an.
Siapa yang mengatakan: Saya tidak percaya dengan Al-Qur'an maka ia kafir"
Beriman kepada Kitab-kitab, maksudnya adalaha,
meyakini dengan sebenar-sebenarnya bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang
diturunkan-Nya kepada para nabi dan raasul-Nya yang benar-benar merupakan Kalam,
(firman, ucapan)-Nya.[7]
Begitupun al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan lafaz dan maknanya yang diturunkan dan bukan makhluk. Jibril alaihis
salam mendengarnya dari Allah Ta’ala lalu menyampaikannya kepada Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihis salam, kemudian Nabi Muhammad shalallhu ‘alihi wa
salla menyampaikan kepada sahabatnya, dan itulah yang di baca dengan lisan
kita, kita tulis dalam mushhaf-mushhaf kita, kita hafal dalam dada kita, serta
kita dengar denagn telinga kita, hal ini sesuai dangan firman Allah;
“Dan jika ada seorang musyrik meminta perlindungan
kepadamu, maka berilah perlndungan agar dia mendengar kalam Allah.” (QS. At-Taubah; 6)
Rasulullah juga bersabda ;
“ Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.” (Haadits shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad)
Beriman kepada semua yang telah kami sebutkan tentang
al-QUR’AN yang mulia adalah wajib[8]. Dan
barang siapa yang meragukan atau pun menolak Al-Qauran maka ia telah kafir,
sebagai mana dalam penjelasan diatas.
1.3.
Menetapkan Sifat Kalam bagi Allah
Allah
berfirman;
“Dan Allah berbicara kepaad Musa dengan langsung.” (QS. An-Nisa’; 164)
Ayat ini, juga
ayat-ayat yang lain, menunjukkan bahwa Allah benar-benar berbicara dengan
pembicaraan yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Dia Allah berbicara bila Dia
menghendaki, tentang apayang Dia kehendaki. Dia benar-benar telah berbicara
dengan al-Qur’an dan kitab-kitab-Nya lain yang diturunkan kepada para nabi
‘alalihimush shalatu wa sallam. Al-Quar’an adalah Kalam-Nya Ta’ala, diturunkan,
bukan makhluk, bermula dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Bila manusia
menulis Al-Qur’an di mushaf atau membacanya, maka hal itu tidak merubah keberadaannya sebagai Kalam Allah. Karena
perkataan itu disandarkan kepada siapa yang mengatakannya pertama kali, bukan
kepada siapa yang menyampaikannya. Allah telah berbicara dengan huruf-hurufnya
dan makna-maknanya, dengan lafazh dari diri-Nya sendiri, tidak sedikit pun dari
hal itu yang berasal dari selainnya. Jadi, Allah berbicara dengan perkataan
yang dari segi jenisnya adalah Qodim, akan tetapi dari satu persatuannya adalah
Hadits (baru), dan dia terus-menerus berbicara dengan huruf, suara, dan
perkataan yang di dengar oleh siapa saja di antara makhluk-Nya yang Dia
kehendaki. Dia akan berbicara kepada orang-orang mukmin pada Hari kiamat dan
sebaliknya mereka berbicara mereka berbicara kepada-Nya. Pembicaraan-Nya
terjadi dengan dzat-Nya dan merupakan sifat Dzat sekaligus dengan sifat
perbuatan, karena itu ia masih dan dengan pembicaraan yang sesuai dengan
kebesaran-Nya[9].
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Tidak ada seorang pun di antara kamu, kecuali Rabbnya akan berbicara
dengannya, tanpa perantara seoarang penarjemah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim 1/201)
1.4.
Perkataan Para Ulama tentang Al-Qur’an Kalam bukan
Makhluk
Imam Ahmad berkata :
“Walau dalam kondisi apa pun, al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk.”
Amru bin Dinar berkata :
“Aku telah menjumpai sembilan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam mereka semua berkata, ‘Barangsiapa yang mengatakan al-Qur’an adalah
makhluk, maka dia telah kafir.”
Sufyan bin Tsauri berkaata :
“Al-Qur’an adalah Kalam Allah bukan makhluk, dari-Nya bermula dan
kepada-Nya kembali. Barangsiapa yang berkata selain ini, maka dia telah kafir.”
Iman Malik bin Anas berkata :
“Barangsiapa yang berkata bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka orang
tersebut di suruh bertaubat, namun jika ia tidak mau bertaubat, ia di penggal
lehernya.”
Abdul Izz Al-Hanafi berkata :
“Ahlussunnah semuanya, dari ahlu madzhab yang empat dan selain mereka dari
ulama salaf mau pun khalaf, mereka bersepakat bahwa Al-Qur’an adalah Kalam
Allah bukan mekhluk.”[10]
1.3. Tragedi Al-Mihnah dari Masa- Kemasa
1.3.1. Al-Mihnah pada Masa al-Ma’mun
Pada awal bulan Rabi’ul awal tahun 218 H. Kira-kira
empat bulan sebelum meninggal, al-Ma’mun menulis surat kepada Gubernur Irak,
Ishak bin Ibrahim, agar menguji para Qadhi dan para saksi tentang Khalk
al-Qur’an dan demikan panjang dengan mengemukakna dalil-dali al-Qur’an bahwa ia
adalah makhluk. Para Qadhi dan para saksi yang menolak untuk menyatakan bahwa
Khalq al-Qur’an dianggap tealh musyrik. Dengan demikian, mereka tidak berhak
menduduki jabatan hakim dan kesaksian mereka tidak sah. Surat tersebut di kirim
ke seluruh wilayah Islam, separti Damsyik, dan dengan demikian terjadilah
Al-Mihnah di seluruh wilayah itu.[11]
Di dalam surat kedua, Al-Ma’mun memerintahkan kepada
Ishak bin Ibrahim agar para Muhaddisin di Baghdad menghadap khalifah. Khalifah
akan menguji mereka secara langsung. Secara psikologis, pengujian itu lebih
berat di bandingkan pengujian yang di berikan oleh gubernur. Di antara yang di
panggil itu adalah Muhammad bin Sa’ad, Abu Muslim, Yahya bin Ma’in, Zahir bin
Harbin, Isma’il bin dawud, Isma’il bin Abi Mas’ud, dan Ahmad bin Ibrahim
al-Dauraqi. Semua orang ini menjawab pertanyaan khlifah bahwa al-Qur’an itu
makhluk. Ahli fiqh hadits waktu itu mempunnyai pengaruh besar dalam masyarakat.
Kalau golongan ini mengakui Al-Qur’an makhluk tentu bantyak rakyat yang menguki
ajaran Mu’tazilah.[12]
Tampaknya para ulama mengatakan hal ini di karenakan keterpaksaan.
Kemudian tampaknya Al-Ma’mun belum juga merasa puas
dengan hasil mihnah yang telah di laksanakan karena sebagian ulama yang lain
belum menyatakna pendapat mereka tentang khalq al-Qur’an. Untuk itu al-Ma’mun
mengirim surat yang ketiga kalinya kepada Gubernur Ishak bin Ibrahim untuk
menguji ulama lainnya, menegaskan dan memperkuat dalil-dalil khalq al-Qur’an.
Untuk melaksanakan perintah ini, Ishak bin Ibrahim
memanggil para fuqaha, muhaddisin, dan para hakim untuk di uji. Di antaranya yang
di panggil adalah Imam Ahmad bin Hambal.[13]
1.3.2. Biografi singkat Imam Ahmad
Nasab dan Kelahirannya
Beliau adalah Abu Abdillah
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin
Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin
Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang
berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota
Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau
dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling
masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30
tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah
ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani
Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan
karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia
dahulunya adalah seorang panglima.
Masa
Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu,
kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan
manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan
beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para
sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di
al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan.
Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah
goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak
lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri,
terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera
pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera
mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan
berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan
mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama
yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan
Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16
tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh
hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya,
Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat
tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari
Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke
Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol
yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan
selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan
faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan
terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits.
Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin
‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid
bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya
tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku
dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad
bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya
itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga.
Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada
beliau, “Wahai Abu
Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama
mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut
ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti
itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan
lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid
beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan
lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya
kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang
terkenal, al-Musnad,
dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak
tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan
al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran,
tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir
dan al-kabir,
kitab az-Zuhud,
kitab ar-radd
‘ala al-Jahmiyah wa az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan
Zindiqah), kitab as-Shalah,
kitab as-Sunnah,
kitab al-Wara ‘
wa al-Iman, kitab al-‘Ilal
wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah,
satu juz tentang Ushul
as-Sittah, Fadha’il
ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan
kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut,
agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya
dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu
dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama
kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang
hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka
beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan
pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan
kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada
ahlinya.
Imam Syafi‘i juga
berkata, “Aku keluar
(meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut
orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin
Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang
seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan
keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq
menjawab, “Dia
seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan
berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada
kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi
penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin
Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada
kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”.
Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah
seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh[14].
1.3.2. Al-mihnah sesudah Al-Ma’mun dan
berlanjutnya penyiksaan Imam Ahmad
Setelah Gubernur Ishak bin
Ibrahim memanggil Imam Ahmad, beliau pun di tanya tentang pendapatnya tentang
al-Qur’an, Kemudian ia mengatakan bahwa al-Qu’an adalah kalam Allan bukan
makhluk. aKan tetapi ia tetap di paksa untuk mengatakan bahwa al-Qur’an itu
adalah mkhluk, akan tetapi ia tetap dengan pendiriannya.
Kemudian ia di belenggu dan
dikirim bersama ulama lainnya kepada al-Ma’mun di Tarsus. Tetapi sebelum mereka
sampai di Tarsus Al-Ma’mun meninggal akan tetapi Imam Ahmad tetap di tahan
karna di anggap sebagai pemuka penting yang menolak paham khalq al-Qur’an.[15]
Sebelum meninggal, Al-Ma’mun
menulis surat wasiat kepada penggantinya, al-Mu’thasim (219-227 H), agar
melanjutkan pendidikannya tentang al-Qur’an dan melibatkan Ahmad bin Du’ad
dalam pemusyawaratan segala masalah ketika kelak al-Mu’thasim menjadi khalifah.
Berbeda ddenag al-Ma’mun yang
mencintai ilmu, al-mU’thasim lebih mencintai kemiliteran. Dalam menjalankan
wasiat ini, al-Mu’thasim melakukan mihnah dengan lebih kejam kepada para ulama
bahkan sebagain mereka ada yang di bunuh. Imam Ahmad bin Hambal dicambuk dan di
penjarakan karena tetap menolak paham khalq al-Qur’an dan ia menerima siksaan
al-Mu’tashim dengan tabah.[16]
Sungguh Imam Ahmad di pukul dan
di cambuk, ibarat pukulan yang merobohkan gunung, akan tetapi beliau tetap
tidak bergeming guncang, tidak pula berbalik haluan atau pun terpengaruh.
Bahkan beliau justru semakin mengeras kuat layaknya gunung yang tinggi
menjulang[17].
Siksaan yang beliau alami di
luar kebiasaan, sungguh tak manusiawi, tubuhnya robek-robek akibat cambukan,
bahkan di ceritakan sampai-sampai ia kencing darah akibat berat dan besarnya
siksaat itu.
Sekitar tujuh tahun setelah
mihnah dilaksanakan, Al-Mu’tashim meninggal pada tahun 227 H. Ia di gantikan
oleh al-Wasiq (227-232 H) adalah seoarang yang alim, berwawasan luas akan
tetapi ia sangat tegas menghukum orang yangb menolak paham khalq al-Qur’an.
Pada akhirnya, beliau
dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu
berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali
menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan
ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan
kakeknya. dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras.
Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya,
Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar
mengajar atau menghadiri shalat jamaah.
Ia juga membunuh Ahmad bin Nasr
dengan tangannya sendiri tetapi ia tidak berani membunuh imam ahmad karena Imam
Ahma mempunyai pengaruh besar di kalangnan fuqaha. Imam Ahmad hanya di bebaskan
untuk meninggalkan Baghdad.[18]
Setelah Wasit wafat tahun 232
H, jabatan khalifah di pegang oleh al-Mutawakil. Pada masanya mihnah hanya
berlangsung dua tahun saja.[19]
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua
tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih
dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia
mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang
kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam
hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan
hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun
bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas
keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar
doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin
al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Telah bergiliran tiga orang
Khalifah mengujinya sampai Allah berikan jalan keluar. Allah tinggikan kalmatul
haq dan ia jatuhkan tokoh-tokoh pemyeru kebathilan. Tokoh-tokoh Mu’tazilh di
usir dan di pecat dari pemerintahan, sedangkan Qadhi Ahmad bin Abi Du’ad, orang
terkenal Al-Mu’tazilah di masukkan ke dalam penjara dan hartanya di sita.[20]
Akhirnya mereka lenyap layaknya
debu yang berhamburan. Allah angkat Sunnah, Allah Jayakan Ahlus Sunnah dan ia
muliakan mereka di zaman Khalifah al-Mutawakkil rahimahullah. Semoga Allah
membalas kebaikannya terhadap Islam dan pertolongannya terhadap Sunnah dengan balsan
yang sebaik-baiknya.
Itulah mihnah, cobaan yang
harus di terima oleh para ulama, dan sikasaan yang harus di tanggung oleh Imam
Ahmad bin Hambal, atas keteguhan inlah Imam Ahmad di nobatkan sebagai Imam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sebagai penutup dari makalah
ini saya ingin menutupnya dengan menulias;
Baca juga: Agama itu Pilihan Bukan Warisan
Baca juga: Agama itu Pilihan Bukan Warisan
Wafatnya Imam Ahmad Rahimahullah
Sakit dan Wafatnya
Menjelang
wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya,
orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di
depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di
depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun
241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan
kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka
yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang
mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada
yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya
menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi
menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan
kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada)
hari kematian kami”.
Demikianlah
gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap
agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh
keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama
lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang
Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada
dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy
berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah
telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang
ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang
banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada
Yaumul Mihnah.[21]
Kesimpulan
Inilah Yaumul
Mihnah, hari dimana masa-masa ujian dan cobaan bagi para ulama, yang tegar di
tas keyakinan salafush-shalih yang berkeyakinan al-Qur’an itu adalah Kalam
Allah bukan Makhluk. Imam Ahmad cukup salah satu contoh yang di perlihatkan
kapda kita bahwa inilah akidah yang benar dalam penetapan al-qaur’an. Jika ada
yang beranggapan bahwa al-Qur’an adalah Makhluk, para ulama sepakat mereka
kafir.
Saran
Saran
Kritik dan saran dalam bentuk
apa pun kami terima, karna sesungguhnya makalah ini jauh dari kata sempurna,
karna sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah mlik Allah, kesalahan itu adalah
milik manusia.
[1] Ahmad
Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya:Pustaka Progresif, 2002). Halm.
1315
[2] M. Amin
Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarata:Amzah,2011).
Halm. 86-87
[3] Ibid.
[4]
Syekh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, Ats-Tsabat ‘Ala as-Sunnah, Terjemahan
Indonesia Tegar di atas Sunnah, (Yogyakarta:Maktabah al-Huda,1429 H). Halm.
41
[5] Ibi.
[6]
Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:" Adakah seseorang yang mau
membawaku ke kaumnya?. Sesungguhnya orang-orang Quraisy menghalangiku untuk
menyampaikan kalam (ucapan) Rabbku" (HR. Bukhari dalam Af'alul 'ibad,
At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Majah)
[7] Syekh
Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Syarah Aqidah Wasitjiyah, (Solo:At-Tibyan,2000),
halm. 21
[8] Syekh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syarah Durusul Muhimmah li Ammatil Ummah, (Malang:Cahaya
Tauhid Press, cetakan keempat, 2012), halm. 194-195
[9] Syekh
Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, Op.Cit. halm. 57-58
[10]
Muhammad Al-Fatih, kamus Nasehat Ulama, (Zam-Zam, 2010). Halm. 139-143
[11] M. Amin
Nurdin dan Afifi Abbas, Loc.Cit. halm. 89
[12] Ibid.
Halm. 90
[13] Ibid.
[14] Artikel
Muslim, htt://muslim.or.id/
[15] M. Amin
Nurdin dan Afifi Abbas, Op,Cit. 91
[16] Ibid
[17] Syekh
Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, Loc.Cit. halm. 41
[18] M. Amin
Nurdin dan Afifi Abbas, Opcit. Halm. 93
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Artikel
Muslim, htt://muslim.or.id

0 Response to "Sejarah kelam al-mihnah"
Post a Comment
Silahkan Berikan Komentar Anda yang Positif