Inilah Sebaik-Baik Bid’ah [1]
Inilah Sebaik-Baik Bid’ah [1]
Bismillah....Segala puji
bagi Allah Rabb Semesta alam, shalawat dan salam buat Nabi Muhammad Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam, buat Istri-istrinya, buat keluarganya dan Sahabat-sahabatnya
serta orang-orang yang mengikuti mereka atas jalan kebenaran.
Sesungguhnya ahlu bid’ah tak henti-hentinya mencari-cari alasan dan
argumen-argumen untuk menyerang sunnah. Salah satu senjata andalan mereka untuk
menyerang sunnah adalah ucapan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, yang
berbunyi:
نِعْمَ الْبِدْعَةُهذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”
Benarkah ucapan ini? Lalu bagaimana menanggapinya? Oleh karenanya
Syekh Abdul Qaiyum bin Muhammad bin Nashir As-Sibahany menjelaskan bantahan
untuk membantah orang-orang yang ber-argumen tentang ucapan Umar di atas.
Berikut penjelasannya.
BANTAHAN
Pertama: Jika kita
menerima, bahwa yang dimaksud oleh perkataan Umar adalah sebagaimana yang
mereka inginkan dalam menganggap baik perbuatan bid’ah-sekalipun hal ini
tidak bisa di terima, maka sesungguhnya
tidak dibenarkan mengkonfrontasikan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam dengan perkataan seorangpun dari manusia, siapapun dia, baik itu
perkataan Abu Bakar sebagai manusia terbaik di antara Umat Nabinya, dan tidak
pula perkataan umar, sebagai orang terbaik kedua pada umat ini setelah Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, juga tidak bisa dikonfrontasikan
dengan ucapan siapapun.
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
“Hampir-hampir batu-batu berjatuhan dari langit menimpa kalian, aku katakan
bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kalian justru
mengatakan berkata Abu Bakar dan Umar.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Tidaklah diterima pendapat seseorang
jika telah ada suatu sunnah yang ditetapkan oleh Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam.
Imam asy-Syafi’i juga berkata, “Telah sepakat ulama kaum muslimin
bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah, maka tidak halal
baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ada perkataan orang
lain.”
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam maka berarti dia telah berada pinggir
jurang kehancuran.”
Kedua: Bahwasanya Umar
mengeluarkan perkataan tersebut ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk
shalat tarawih, dan shalat tarawih itu bukanlah suatu bid’ah bahkan merupakan
sunnah. Dalilnya adalah riwayat dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya
suatu malam Rasulullah shalat di masjid, lalu orang-orang mengikuti beliau,
kemudian beliau shalat pada malam berikutnya maka banyak orang mengikuti
beliau, kemudian mereka berkumpul pada malam ke-3 atau ke-4 tapi Rasulullah
tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Tatkala datang waktu pagi, beliau
bersabda;
“Sesungguhnya aku telah melihat apa yang kalain perbuat (tadi
malam), dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar kepada kalian melainkan
karena aku khawatir jangan sampai ia akan diwajibkan kepada kalian.” Dan hal ini terjadi pada bulan Ramadhan (kata ‘Aisyah).
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan
sebab-sebab beliau meninggalkan jama’ah dalam shalat tarawih waktu itu. Tatkala
Umar melihat bahwa sebab-sebab yang menghalangi jama’ah Tarawih itu sudah
tiada, maka beliaupun melakukan kembali shalat Tarawih secara berjama’ah.
Dengan demikian maka apa yang dilakukan oleh Umar itu ada asalnya dari
perbuatan Rasulullah.
Ketiga: Apabila telah
terbukti bahwa apa yang dilakukan oleh Umar itu bukanlah merupakan suatu
bid’ah, lalu apa yang dimaksud dengan bid’ah dalam ucapan beliau tersebut?
Sesungguhnya kata “Bid’ah” dalam ucapan beliau tersebut maksudnya
adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan makna Syara’ (agama)
Bid’ah menurut bahasa adalah apa saja yang dilakukan yang tidak ada
contoh sebelumnya. Maka tatkala shalat (tarawih) tersebut tidak dilakukan pada
masa Abu Bakar dan pada awal masa kekhilafahan Umar, bearti bahwa ia merupakan
suatu bid’ah menurut tinjauan bahasa, yakni “tidak ada contoh sebelumya.”
Adapun menurut tinjauan syara’ (agama) tidak demikian, sebab perbuatan itu
mempunyai dasar dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Asy-Syaathiby berkata, “Maka barang siapa yang menamakannya sebagai
“bid’ah” dalam pengertian semacam itu, maka tidak ada perbedaan pendapat dalam
segi penamaan (istilah). Dan dengan demikian tidak boleh berdalil (dengan
pengertian dari segi bahasa tersebut) untuk memperolehkan melakukan perbuatan
bid’ah, sebab hal tersebut merupakan salah satu dari bentuk pemutarbalikan
fakta dari yang sebenarnya.
In Syaa Allah Bersambung..........
Selesai di tulis pada sore hari Jum’at 20 Dzulqa’dah 1436 H.
Penulis: Hermansyah Suhaimi El-Kampary
Sumber;
Al-Luma’ fil Rudd ‘Alaa Muhassiny al-Bida’, Abdul Qaiyum bin Muhammad bin
Nashir as-Sahibany. Edisi bahasa Indonesia Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasana?,
Alih Bahasa Abu Hafs Muhammad Tasyrif Asbi Al-Ambony.
Ikuti Update Status kami Facebook Hermansyah
Suhaimi El-Kampary, Fans Page Salafiansyah. Com, Twitter @salafiansyah, Insta
Gram Salafiansyahdotcom

0 Response to "Inilah Sebaik-Baik Bid’ah [1]"
Post a Comment
Silahkan Berikan Komentar Anda yang Positif