Defenisi dan Klasifikasi Tawassul
Hukum Tawassul Dan Klasifikasinya
Syaikh Ibnu Utsaimin Ahad,
23-Dzul hijjah ’37 H
25-Semtember ’16 M
A.
Defenisi Tawassul
Kata اَلتَّوَسُّلُ maknanya mengambil/menjadikan wasilah (sarana) dan
اَلْوَسِيْلَةُ maknanya setiap sesuatu yang
dapat menyampaikan kepada tujuan atau maksud. Aslinya berasal dari kata اَلْوَصْلُ, (yakni dengan menggunakan huruf shad
-penj.) sebab huruf ص (shad) di sini dan
huruf س (sin) pada kata اَلْوَسِيْلَةُ
saling menggantikan kedudukan masing-masing sebagaimana kata صِرَاطٌ dan سِرَاطٌ serta
kata بَصْطَة dan بَسْطَة
sering diungkapkan dengan kedua-duanya.
Bertawassul di dalam
berdoa kepada Allah سبحانه و تعالى,
maknanya perbuatan seorang yang berdoa mengaitkan doanya dengan sesuatu yang
bisa menjadi penyebab terkabulnya doanya tersebut. Tentunya pula, harus ada
dalil atas kondisi sesuatu menjadi sebab terkabulnya doa. Hal ini hanya bisa
diketahui melalui syariat; siapa saja yang menjadikan sesuatu perkara sebagai
wasilah baginya di dalam pengabulan terhadap doanya tanpa dalil dari syariat,
berarti dia telah mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya atas nama Allah.
Sebab, bagaimana dia bisa mengetahui bahwa apa yang dijadikannya wasilah itu
adalah termasuk hal yang diridhai oleh Allah dan penyebab terkabulnya doanya?
Padahal, doa itu adalah bagian dari ibadah dan ibadah itu hanya tergantung
kepada adanya syariat mengenainya. Allah telah menyangkal terhadap orang yang
mengikuti suatu syariat tanpa seizinNya dan menjadikan hal itu sebagai
kesyirikan. Dia berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ الَّهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah." (Asy-Syura: 21).
Dan firmanNya,
"Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan
(juga mereka menjadikan Rabb) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah)
selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 31).
B.
Klasifikasi/pembagian tawassul
Bertawassul di dalam
berdoa kepada Allah terbagi kepada dua klasifikasi:
Pertama, Hal itu dilakukan dengan wasilah yang diajarkan oleh syariat; ini ada
beberapa jenis:
1.
Bertawassul melalui
Asma' Allah, Shifat-Shifat dan perbuatan-Nya. Dalam hal ini, bertawassul kepada
Allah سبحانه و تعالى dengan Nama, sifat atau
PerbuatanNya yang sepadan dengan apa yang dimintakan seseorang. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan
menyebut asmaul husna itu." (Al-A'raf: 180).
Seperti bila dia berdoa,
يَا رَحِيْمُ اِرْحَمْنِي، يَا غَفُوْرُ اِغْفِرْ لِيْ
"Wahai Dzat Yang Maha Pengasih, kasihilah aku; wahai Dzat Yang Maha
Pengampun, ampunilah aku."
Dan semisal itu. Seperti juga di dalam sebuah hadits dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau pernah berdoa,
اَللّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى
الْخَلْقِ أَحْيِنِيْ مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِيْ
"Ya Allah, dengan ilmuMu terhadap yang ghaib dan QudratMu di dalam
mencipta, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku."[1]
Beliau telah mengajarkan kepada umatnya agar di dalam shalatnya mengucapkan,
Beliau telah mengajarkan kepada umatnya agar di dalam shalatnya mengucapkan,
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ
كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمِ.
"Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga
besarnya sebagaimana Engkau telah menyampaikan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan
keluarga besarnya."[2]
2.
Bertawassul kepada
Allah dengan beriman dan taat kepada-Nya sebagaimana firmanNya mengenai Ulil
Albab,
"Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru
kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Rabbmu"; maka kami pun
beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami." (Ali 'Imran: 193).
Dan firman-firman-Nya,
"Sesungguhnya ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa (di dunia):
"Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami
rahmat." (Al-Mukminun: 109).
serta firman-Nya mengenai al-Hawariyyun (para sahabat Nabi 'Isa عليه السلام):
"Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau
turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam
golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)." (Ali 'Imran: 53).
3.
Bertawassul kepada
Allah dengan menyebut kondisi orang yang berdoa yang menjelaskan kebutuhan dan
hajatnya sebagaimana firmanNya melalui ucapan Musa عليه
السلام,
"Ya Rabbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang
Engkau turunkan kepadaku." (Al-Qashash: 24).
4.
Bertawassul kepada
Allah melalui doa orang yang diharapkan doanya terkabul sebagaimana permintaan
para sahabat -rodliallaahu'anhum- kepada Nabi صلی الله
عليه وسلم agar beliau berdoa kepada Allah untuk mereka seperti ucapan
seorang laki-laki yang ketika Nabi sedang berkhutbah Jum'at, dia masuk masjid
sembari berkata, "Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan buat
kami."[3]
5.
Dan ucapan 'Ukasyah bin
Muhshin kepada Nabi صلی الله عليه وسلم,
"Berdoalah kepada Allah agar menjadikanku termasuk dari mereka (tujuh
puluh ribu orang yang meniti shirath tanpa hisab-penj.)" [4]
Ini semua hanya bisa terjadi semasa hidup orang yang berdoa, sedangkan
setelah dia meninggal dunia, maka tidak boleh hukumnya karena dia dianggap
tidak memiliki amal dan sudah berpindah ke alam akhirat. Oleh karena itu,
tatkala penduduk mengalami kekeringan pada masa kekhilafahan Umar bin
al-Khaththab -rodliallaahu'anhu-, mereka tidak meminta kepada Nabi صلی الله عليه وسلم agar memintakan hujan turun buat
mereka tetapi Umar meminta turun hujan melalui perantaraan al-Abbas, paman Nabi
صلی الله عليه وسلم. Dia berkata
kepadanya, "Berdirilah lalu mintalah hujan turun!" Lalu al-Abbas
berdiri dan berdoa.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari al-'Utby bahwa ada seorang Arab
Badui (yang biasa hidup di pedalaman padang sahara-penj.) datang ke kuburan
Nabi صلی الله عليه وسلم sembari berkata,
"as-Salam 'alaika Ya Rasulullah (salam sejahtera untukmu wahai
Rasulullah), sesungguhnya aku mendengar Allah سبحانه و
تعالى berfirman,
"Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (An-Nisa': 64).
Dan, aku telah datang meminta ampunan atas dosa-dosaku dengan memohon
syafaat kepada Rabbku melalui perantaraanmu? (hingga selesai kisah ini)";
maka ini adalah kisah dusta dan tidak benar sama sekali. Dalam pada itu, ayat
tersebut bukan pula dalil atas hal itu sebab Allah سبحانه
و تعالى berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا
"Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya" (dengan
menggunakan kata إِذْ [Idz]-penj.), dan Dia
tidak berfirman, وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذَا ظَلَمُوْا
(Dengan menggunakan kata إِذَا [Idza]-penj.).
(Dengan menggunakan kata إِذَا [Idza]-penj.).
Menurut tata bahasa Arab, kata إِذْ (idz)
berfungsi untuk menjelaskan hal yang telah lalu bukan hal yang akan datang.
Sementara itu, ayat tersebut berbicara tentang suatu kaum yang berhukum atau
hendak berhukum kepada selain Allah dan RasulNya sebagaimana yang didukung oleh
alur cerita terdahulu ataupun yang akan datang.
Kedua, Tawassul tersebut
dilakukan melalui wasilah yang tidak diajarkan oleh agama; ini ada dua jenis:
1.
Wasilah yang digunakan
telah dibatalkan oleh syariat seperti tawassul yang dilakukan oleh orang-orang
musyrik dengan tuhan-tuhan mereka. Kebatilan jenis ini tentunya amat tampak.
2. Menggunakan wasilah yang didiamkan oleh syariat; ini hukumnya haram dan
termasuk jenis kesyirikan. Seperti bertawassul melalui jah (kehormatan)
seseorang yang memang terhormat di sisi Allah, lalu dia berkata, "Aku
meminta kepadaMu melalui jah Nabi-Mu." Ini tidak dibolehkan karena
merupakan penetapan terhadap suatu sebab yang tidak dianggap sah oleh syariat
dan karena Jah orang yang memang terhormat tidak memiliki pengaruh apa-apa di
dalam terkabulnya suatu doa sebab tidak terkait dengan orang yang berdoa
ataupun orang yang didoakan tetapi hanya merupakan urusan orang yang terhormat
itu sendiri. Dia tidak dapat memberikan manfaat bagi anda di dalam mencapai apa
yang anda minta atau di dalam menolak apa yang anda tidak sukai. Dikatakan
sebagai wasilah bagi sesuatu, bilamana ia dapat menyampaikan kepadanya
sementara bertawassul (mengambil wasilah) dengan sesuatu kepada hal yang tidak
dapat menyampaikannya merupakan bentuk kesia-siaan belaka. Jadi, tidak pantas
anda menjadikannya sebagai hal yang mengantarai diri anda dan Rabb anda. Wallahu
waliyy at-Taufiq.
__________
Penyusun: Hermansyah Suhaimi El-Kampary
Artikel: www. Salafiansyah.blogspot.co.id
Artikel: www. Salafiansyah.blogspot.co.id
Ikuti update artikel Salafiansyah.com di Fans
Page Salafiansyah.Com, Facebook
Hermansyah bin Suhaimi El-Kampary, Twitter
@SalafiansyahCom, Instagram
SalafiansyahCom, Channel Telegram @Salafiansyahcom,
@alQawarir
NOMOR WHATSAPP; +628975992494
_________
Footnote:
[1] Sunan an-Nasa'i, kitab as-Sahwu, Jilid III, hal. 54-55.
[2] Terdapat lafazh-lafazh yang bervariasi mengenai shalawat kepada Nabiصلی الله عليه وسلمdari lebih dari seorang sahabat. Lihat: Shahih al-Bukhari, kitab tentang al-Anbiya', no. 3369; Shahih Muslim, kitab ash-Shalah, no. 407 dari hadits Abu Humaid as-Sa'idi; Shahih al-Bukhari, no. 3370 dan Shahih Muslim, no. 406 dari hadits Kaab bin Ajrah; Shahih al-Bukhari, kitab at-Tafsir, no.4798 dari hadits Abu Said dan Shahih Muslim, no. 405 dari hadits Abu Mas'ud.
[3] Shahih al-Bukhari,
kitab al-Istisqa', no. 1013; Shahih Muslim, kitab Ahalah al-Istisqa', no. 897.
[4] Shahih al-Bukhari,
kitab ath-Thibb, no. 5752; Shahih Muslim, kitab al-Iman, no. 220 dari hadits
Ibnu Abbas; Shahih al-Bukhari, kitab al-Libas, no. 5811; Shahih Muslim, no. 216
dari hadits Abu Hurairah dan No. 218 dari hadits 'Imran.
Rujukan:
Kumpulan Fatwa Tentang Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 267-270.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Kumpulan Fatwa Tentang Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 267-270.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.

0 Response to "Defenisi dan Klasifikasi Tawassul"
Post a Comment
Silahkan Berikan Komentar Anda yang Positif